Saturday 3 November 2012

SMOKIN' IN THE BOYS ROOM





Napasnya terengah-engah, dokter selalu menyarankan agar ia berhenti merokok. Namun sulit bagi Wayne Phillip Rodriguez untuk menghentikan kecanduan dari asap kretek tersebut. Wayne mengeluarkan sebatang, lalu meraba sakunya mencari korek.

Sial, lupa melulu, pikirnya. 

Ia kini mencari di kantung-kantung celana para mayat yang terbujur kaku di lantai. Menemukan satu korek Zippo, kemudian membakar rokoknya.





Aroma harum dari asap tembakau sedikit bercampur dengan rasa darah dari bibirnya sendiri. Entah kenapa hal itu bisa menambah kenikmatannya. Tapi ada sedikit perih ketika filternya menyentuh bagian bibir yang terluka.


Wayne melihat hasil pekerjaannya. Enam mayat babak belur tergeletak rapi di lantai. Sambil menjepit rokoknya, ia mengeluarkan kamera saku lalu mengambil gambar orang-orang yang tidak beruntung itu. Foto-foto ini akan ia butuhkan ketika meng-claim uang hadiah nantinya.



Wayne Phillip Rodriguez, 38 tahun, adalah pemburu hadiah yang masih dalam perjalanan menuju ketenaran. Dengan begitu banyaknya pemburu hadiah muda yang bermunculan, sebagian di antaranya lebih lincah dan gesit, sulit bagi angkatan lama seperti Wayne untuk bisa menghadapi persaingan.

Tapi suatu saat nanti pasti akan ada kesempatan, pikirnya. Setelah selesai menyembunyikan para mayat dan membersihkan bukti-bukti di TKP, Wayne berjalan menuju motor tuanya, Honda CBR Fireblade, kemudian berkendara menjauh….




Di kejauhan, ia bisa mendengar bunyi petasan. Ah iya, sebentar lagi Desemberan (Hari kemerdekaan Moyoland, 24 Desember). Di usia setua ini, Wayne masih menyukai kembang api dan petasan. Ia ingat pernah menyebabkan kantin sekolah kebakaran karena petasan ketika masih kecil, tetapi hal itu tidak membuatnya kapok. Karena kejadian itulah ia dijuluki “Pyro” oleh teman-temannya. 

Wayne “Pyro” Phillip Rodriguez, si pembakar kantin…






Keesokan siangnya, Wayne berada di salah satu sekolah negri di pinggiran Moyoland. Kali ini bosnya memilih tempat ini untuk bertemu dan membicarakan “proyek” selanjutnya. Hari itu sedang diadakan pekan acara seni musim dingin, sehingga masyarakat umum boleh masuk ke lingkungan sekolah.

Suatu kebetulan, karena ini dulu juga merupakan sekolah Wayne. Seluruh guru dan karyawan sudah baru, sehingga tak ada yang mengenali Wayne, padahal ia dulu yang tidak sengaja membakar kantin sekolah tersebut. Ia duduk di salah satu bangku taman dan mengamati kesibukan para panita mengendalikan acara.


Ia melihat beberapa siswa-siswa pria memanfaatkan keramaian ini untuk bisa merokok. Ah, masa muda yang penuh kenakalan. Mungkin ia dulu juga seperti mereka, ia tidak ingat…


Checkin' out the halls makin sure the coast is clear
Lookin' in the stalls. Nah, there ain't nobody here
My buddies Sixx, Mick & Tom
  To get caught would surely be the death of us all


Lagu “Smokin’ in the boys room” dari Motley Crue terdengar dimainkan di panggung. Band pembuka yang satu ini rupanya punya selera musik-musik lawas....



"Wayne Pyro?". 

Sebuah suara terdengar dari belakang Wayne. Rupanya orang yang ditunggunya telah datang.

Perawakan orang tersebut sederhana, sulit dibedakan dengan para orang tua murid yang sedang menikmati acara sekolah ini. Tetapi Wayne pernah mendengar beberapa cerita tentangnya, cerita-cerita pertempuran dahsyat yang mungkin sebagian orang kira hanya khayalan seperti cerita komik.

Tapi rasanya tidak mungkin ia sampai menyewa hitman sepertiku kalau dia memang sehebat itu, pasti bisa dikerjakan sendiri, pikir Wayne dalam hati.

Percakapan mereka berlangsung singkat. Tidak ada nego harga, tawaran awal selalu memuaskan. Wayne langsung meninggalkan lokasi seketika, sedangkan orang itu baru pergi setelah menikmati tiga band kemudian.



Hari-H. Lokasinya merupakan sebuah gudang yang biasa digunakan untuk penyelundupan narkotik. Selama ini, semua targetnya juga merupakan penjahat, mafia, ataupun pejabat yang korup. Wayne kadang bertanya-tanya apakah bosnya ini jangan-jangan seorang “pembela kebenaran” tapi menggunakan cara-cara kotor.

Yang penting uang, dalam otaknya. Ia membuang pikiran barusan dan melangkah menuju pintu masuk. Ketuk, hajar, pergi. Begitu saja rencananya malam ini. Sederhana, tapi selama ini belum pernah gagal.

“Siapa itu?” ,tanya penjaga di balik pintu gudang.

“Mamak kau...”, jawab Wayne.

Penjaga tolol itu membuka pintu untuk mengusir Wayne, tapi justru ia yang diusir dari kehidupan oleh  semburan Remington 870 tepat di selangkangan...




Dengan banyaknya petasan di malam Desemberan ini, bunyi senjata api di gudang terpencil ini tidak akan terlalu menarik perhatian. Wayne menerobos masuk sambil mengkokang shotgunnya. Beberapa lawannya refleks meraih pistol, namun senapan Wayne lebih cepat.

Pump action manual memang lebih mantap daripada shotgun otomatis. Setiap gerakan dan bunyi "crek-crek" ketika mengokangnya memberikan feeling tersendiri yang sulit dideskripsikan,  kurang lebih sama dengan alasan kenapa lebih banyak orang lebih memilih mobil atau motor persneling manual. Transmisi otomatis memang lebih praktikal, tapi sensasinya tidak sama seperti mengoper gigi sendiri saat putaran mesin sudah berada di torsi maksimum.

Ketika peluru Remingtonnya sudah habis, waktunya buku-buku jari beraksi. Hook kanan keras oleh Wayne ke salah satu lawannya membuatnya megap-megap sulit bernafas. Dilanjutkan dengan perkenalan wajahnya dengan lutut kiri Wayne Rodriguez.

Orang berikutnya menerjang Wayne dengan tendangan lompat, tapi ditangkap dan dijatuhkan ke lantai. Namun Wayne mengangkat badan lawannya kembali untuk digunakan sebagai perisai terhadap tembakan pistol yang terjadi setelahnya. Setelah lawannya bolong-bolong, ia lemparkan badan lawannya tersebut ke si penembak, kemudian melanjutkan dengan menerjang si penembak yang masih kaget tersebut dan memukulinya di lantai sampai musuhnya tersebut hanya tinggal nama.



Selesai sudah. Ia melihat kembali mayat tersebut satu persatu untuk mencari yang mana yang target utamanya, ternyata justru si orang yang pertama kali membukakan pintu. Wayne tertawa kecil, lalu setelah memotret korban-korbanya, ia pergi ke ruang genset mencari persediaan bensin untuk membakar seluruh gudang tersebut.

Selesai menghabiskan beberapa jerigen, ia meraba saku jaketnya.

“Ah brengsek, lupa melulu…”



Wayne berjalan keluar dari gudang. Di sudut jalan tak jauh dari situ, ia melihat beberapa anak muda yang lagi nongkrong dan minum-minum. Beberapa terlihat sedang merokok. Anak muda jaman sekarang, pikir Wayne.

“Ada korek?”, tanya Wayne dengan rokok terjepit di bibir kepada salah satu anak nongkrong tersebut.

Setelah diberikan korek, Wayne bukannya menyalakan rokok, tapi malah berjalan menjauh dari sekumpulan pemuda tersebut. Si pemilik korek terlihat bingung, tapi terlalu teler untuk berpikir jernih sehingga tidak berbuat apa-apa. Wayne berjalan kembali ke gudang yang tadi.



Beberapa detik kemudian, api berkobar dari dalam gudang.

Wayne keluar dari gudang yang berkobar, dengan rokok sudah menyala...





Ia menuju para pemuda teler  yang sekarang sedang bengong melihat kebakaran. Mengembalikan korek api yang tadi ia pinjam, lalu berjalan menuju motornya.

Helmnya sengaja tidak dikenakan agar bisa mengendarai motor sambil menghisap rokok. “Proyek” kali ini sedikit lebih gampang dari yang sebelumnya, tapi tetap saja ia merasa sedikit lelah.



Napasnya terengah-engah, mungkin dokter memang benar, saatnya ia berhenti merokok…




No comments:

Post a Comment