Napasnya terengah-engah, dokter selalu menyarankan agar ia
berhenti merokok. Namun sulit bagi Wayne
Phillip Rodriguez untuk menghentikan kecanduan dari asap kretek tersebut. Wayne mengeluarkan sebatang,
lalu meraba sakunya mencari korek.
Sial, lupa melulu, pikirnya.
Ia kini mencari di kantung-kantung celana para mayat yang terbujur kaku di lantai. Menemukan satu korek Zippo, kemudian membakar rokoknya.
Ia kini mencari di kantung-kantung celana para mayat yang terbujur kaku di lantai. Menemukan satu korek Zippo, kemudian membakar rokoknya.
Aroma harum dari asap tembakau sedikit bercampur dengan
rasa darah dari bibirnya sendiri. Entah kenapa hal itu bisa menambah
kenikmatannya. Tapi ada sedikit perih ketika filternya menyentuh bagian bibir
yang terluka.
Wayne melihat hasil pekerjaannya. Enam mayat babak belur
tergeletak rapi di lantai. Sambil menjepit rokoknya, ia mengeluarkan kamera
saku lalu mengambil gambar orang-orang yang tidak beruntung itu. Foto-foto ini
akan ia butuhkan ketika meng-claim uang hadiah nantinya.
Wayne Phillip Rodriguez, 38 tahun, adalah pemburu hadiah
yang masih dalam perjalanan menuju ketenaran. Dengan begitu banyaknya pemburu
hadiah muda yang bermunculan, sebagian di antaranya lebih lincah dan gesit,
sulit bagi angkatan lama seperti Wayne untuk bisa menghadapi persaingan.
Tapi suatu saat nanti pasti akan ada kesempatan, pikirnya.
Setelah selesai menyembunyikan para mayat dan membersihkan bukti-bukti di TKP, Wayne
berjalan menuju motor tuanya, Honda CBR Fireblade, kemudian berkendara
menjauh….
Di kejauhan, ia bisa mendengar bunyi petasan. Ah iya,
sebentar lagi Desemberan (Hari kemerdekaan Moyoland, 24 Desember). Di usia
setua ini, Wayne masih menyukai kembang api dan petasan. Ia ingat pernah
menyebabkan kantin sekolah kebakaran karena petasan
ketika masih kecil, tetapi hal itu tidak membuatnya kapok. Karena kejadian itulah ia dijuluki “Pyro” oleh
teman-temannya.
Wayne “Pyro” Phillip Rodriguez, si pembakar kantin…
Keesokan siangnya, Wayne berada di salah satu sekolah
negri di pinggiran Moyoland. Kali ini bosnya memilih tempat ini untuk bertemu
dan membicarakan “proyek” selanjutnya. Hari itu sedang diadakan pekan acara seni musim dingin, sehingga masyarakat umum boleh masuk ke
lingkungan sekolah.
Suatu kebetulan, karena ini dulu juga merupakan sekolah
Wayne. Seluruh guru dan karyawan sudah baru, sehingga tak ada yang mengenali
Wayne, padahal ia dulu yang tidak sengaja
membakar kantin sekolah tersebut. Ia duduk di salah satu bangku taman dan mengamati
kesibukan para panita mengendalikan acara.
Ia melihat beberapa siswa-siswa pria memanfaatkan
keramaian ini untuk bisa merokok. Ah, masa muda yang penuh kenakalan. Mungkin
ia dulu juga seperti mereka, ia tidak ingat…
Checkin' out the halls makin sure the
coast is clear
Lookin' in the stalls. Nah, there ain't
nobody here
My buddies Sixx, Mick & Tom
To
get caught would surely be the death of us all
Lagu “Smokin’ in the
boys room” dari Motley Crue terdengar dimainkan di panggung. Band pembuka yang satu ini rupanya punya selera musik-musik lawas....
"Wayne Pyro?".
Sebuah suara terdengar dari belakang Wayne. Rupanya orang yang ditunggunya telah datang.
Perawakan orang tersebut sederhana, sulit dibedakan dengan para orang tua murid yang sedang menikmati acara sekolah ini. Tetapi Wayne
pernah mendengar beberapa cerita tentangnya, cerita-cerita pertempuran dahsyat
yang mungkin sebagian orang kira hanya khayalan seperti cerita komik.
Tapi rasanya tidak mungkin ia sampai menyewa hitman sepertiku kalau dia memang sehebat itu, pasti bisa dikerjakan sendiri, pikir Wayne dalam hati.
Percakapan
mereka berlangsung singkat. Tidak ada nego harga, tawaran awal selalu
memuaskan. Wayne langsung meninggalkan lokasi seketika, sedangkan orang itu
baru pergi setelah menikmati tiga band kemudian.
Hari-H.
Lokasinya merupakan sebuah gudang yang biasa digunakan untuk penyelundupan
narkotik. Selama ini, semua targetnya juga merupakan penjahat, mafia, ataupun
pejabat yang korup. Wayne kadang bertanya-tanya apakah bosnya ini jangan-jangan
seorang “pembela kebenaran” tapi menggunakan cara-cara kotor.
Yang
penting uang, dalam otaknya. Ia membuang pikiran barusan dan melangkah menuju
pintu masuk. Ketuk, hajar, pergi. Begitu saja rencananya malam ini. Sederhana,
tapi selama ini belum pernah gagal.
“Siapa itu?” ,tanya penjaga di balik pintu gudang.
“Mamak kau...”, jawab Wayne.
Dengan
banyaknya petasan di malam Desemberan ini, bunyi senjata api di gudang terpencil
ini tidak akan terlalu menarik perhatian. Wayne menerobos masuk sambil
mengkokang shotgunnya. Beberapa lawannya refleks meraih pistol, namun senapan
Wayne lebih cepat.
Pump
action manual memang lebih mantap daripada shotgun otomatis. Setiap gerakan dan
bunyi "crek-crek" ketika mengokangnya memberikan feeling tersendiri yang sulit
dideskripsikan, kurang lebih sama dengan
alasan kenapa lebih banyak orang lebih memilih mobil atau motor persneling
manual. Transmisi otomatis memang lebih praktikal, tapi sensasinya tidak sama
seperti mengoper gigi sendiri saat putaran mesin sudah berada di torsi
maksimum.
Ketika
peluru Remingtonnya sudah habis, waktunya buku-buku jari beraksi. Hook kanan keras oleh
Wayne ke salah satu lawannya membuatnya megap-megap sulit bernafas. Dilanjutkan
dengan perkenalan wajahnya dengan lutut kiri Wayne Rodriguez.
Orang
berikutnya menerjang Wayne dengan tendangan lompat, tapi ditangkap dan
dijatuhkan ke lantai. Namun Wayne mengangkat badan lawannya kembali untuk
digunakan sebagai perisai terhadap tembakan pistol yang terjadi setelahnya.
Setelah lawannya bolong-bolong, ia lemparkan badan lawannya tersebut ke si
penembak, kemudian melanjutkan dengan menerjang si penembak yang masih kaget tersebut
dan memukulinya di lantai sampai musuhnya tersebut hanya tinggal nama.
Selesai
sudah. Ia melihat kembali mayat tersebut satu persatu untuk mencari yang mana
yang target utamanya, ternyata justru si orang yang pertama kali membukakan
pintu. Wayne tertawa kecil, lalu setelah memotret korban-korbanya, ia pergi ke
ruang genset mencari persediaan bensin untuk membakar seluruh gudang tersebut.
Selesai
menghabiskan beberapa jerigen, ia meraba saku jaketnya.
“Ah brengsek, lupa melulu…”
Wayne
berjalan keluar dari gudang. Di sudut jalan tak jauh dari situ, ia melihat
beberapa anak muda yang lagi nongkrong dan minum-minum. Beberapa terlihat
sedang merokok. Anak muda jaman sekarang, pikir Wayne.
“Ada korek?”, tanya Wayne dengan rokok terjepit di bibir kepada
salah satu anak nongkrong tersebut.
Setelah
diberikan korek, Wayne bukannya menyalakan rokok, tapi malah berjalan menjauh
dari sekumpulan pemuda tersebut. Si pemilik korek terlihat bingung, tapi terlalu
teler untuk berpikir jernih sehingga tidak berbuat apa-apa. Wayne berjalan
kembali ke gudang yang tadi.
Beberapa
detik kemudian, api berkobar dari dalam gudang.
Wayne
keluar dari gudang yang berkobar, dengan rokok sudah menyala...
Ia
menuju para pemuda teler yang sekarang
sedang bengong melihat kebakaran. Mengembalikan korek api yang tadi ia pinjam,
lalu berjalan menuju motornya.
Helmnya
sengaja tidak dikenakan agar bisa mengendarai motor sambil menghisap rokok. “Proyek” kali ini sedikit lebih gampang dari yang sebelumnya, tapi tetap saja
ia merasa sedikit lelah.
Napasnya
terengah-engah, mungkin dokter memang benar, saatnya ia berhenti merokok…
No comments:
Post a Comment