Shit Shit Shit Shit Shit….
Jam berapa ini? Sean Cromwell melihat jam wekernya sambil panik. Ia
akan telat ke kantor. Sean buru-buru melakukan semua ritual paginya (minus
sarapan) dan segera menjalankan mobilnya menuju pusat kota North Gungenport….
Keterlambatannya
diperparah dengan kemacetan panjang di jalan protokol.
Tak
ada yang bisa Sean lakukan selain mencoba mengarang alasan kepada bosnya nanti.
Sambil pasrah melihat jalanan yang tak kunjung lancar, ia membayangkan
seandainya mobilnya dilengkapi dengan peluncur roket, sehingga ia bisa
meledakkan apapun yang menghalangi jalannya ke kantor….
Duar Duar Duar…. Sean memvisualisasikan ledakan mobil-mobil di depan
dalam pikirannya.
Dan
tiba-tiba sebuah bus di depannya meledak.
Kepanikan
langsung bermunculan di sekitarnya. Sean terbelalak kaget. Untungnya jarak
mobilnya dengan bus tersebut masih cukup jauh, sehingga ia tidak apa-apa.
Bunyi
gemuruh mesin jet terdengar dari atas, seketika lewatlah sebuah pesawat tempur
MOJ-32C yang terbang rendah di atas jalan raya tersebut. Beberapa detik
kemudian, sebuah pesawat tempur lain yaitu Verzer V-26 mengikuti di
belakangnya.
Rupanya
kedua pesawat itu sedang kejar-kejaran, dan ledakan bus tadi berasal dari
peluru kendali V-26 yang gagal mengenai lawannya….
Orang-orang
berlarian meninggalkan kendaraannya dengan panik. Sean berusaha mundur dan
berputar, tapi terlambat, di belakangnya juga sudah macet. Beberapa saat
kemudian terdengar lolongan sirene panjang dan keras dari speaker-speaker yang
ditempatkan di gedung-gedung di dekatnya.
Ada
apa ini? Apa kita sedang berperang? Sean mengganti CD playernya dengan radio,
ternyata ada pengumuman darurat bahwa negara tetangga Vertopia baru saja
menyatakan perang dengan Moyoland. Sirene barusan ialah peringatan serangan
udara yang sedikit terlambat…
===================================
(Sementara
itu)
“Mau mengunci misil dari sudut kayak
gitu? Besoooook!!!” teriak Letnan
Satu Robin Mifune setelah berhasil menghindari serangan barusan. Ia tahu
lawannya tidak bisa mendengarnya, tapi ia puas saja bisa bragging seperti itu,
walaupun sekarang kondisinya tidak menguntungkan baginya.
Angkatan
udara Vertopia tidak main-main dalam melakuan persiapan menyerang Moyoland.
Pesawat penyerbu seri terbaru mereka, Verzer
V-26 “Viscera”, unggul dalam hampir semua bidang dibandingkan pesawat yang
Robin naiki sekarang, MOJ-32C
“Thunderstruck”. V-26 lebih cepat, persenjataan lebih canggih, dan semua
sistem kendali sudah modern, mungkin pilot newbie dengan sedikit jam terbang
saja sudah bisa menguasainya.
Sedangkan
Robin Mifune baru saja membiasakan diri dengan pesawat MOJ-32C ini. Ia baru
berlatih dengannya selama 2 bulan, tapi keadaan perang menuntut bahwa siap
tidak siap, harus siap. Sebelumnya, Robin terbiasa menerbangkan MOJ-32B “Eagleheart”, yang mana
memiliki beberapa perbedaan dalam kontrol manuver dengan Thunderstruck,
sehingga ia masih agak kagok….
Verzer itu terus menempelnya seperti seorang
pacar yang over protektif. Robin sudah berusaha melakukan hampir semua teknik
manuver yang ia ketahui, tapi tetap saja V-26 bisa membaca semuanya,
seolah-olah seperti sudah otomatis dikendalikan komputer, dan pilotnya hanya
tinggal santai saja.
Tunggu sebentar, mungkin itu
kelemahannya…
Robin
terpikir sebuah ide yang nekat. Ia memperbesar jarak dengan V-26 di
belakangnya, lalu tiba-tiba melakukan putaran Immelman, sehingga kini kedua
pesawat itu saling berhadapan…
Pilot
Verzer tersenyum. Mau apa ini orang?,
sambil bersiap menempatkan jari di tombol peluru kendali. Ia menunggu jaraknya
cukup dekat sehingga bisa mengunci MOJ-32C tersebut….
Tetapi,
yang ia lihat melalui kaca depannya justru hidung dari sebuah misil yang
mengarah tepat ke wajahnya. Ia tidak sempat lagi melakukan apapun, dan Verzer
V-26 “Viscera” tersebut meledak hidung duluan di udara….
Muanntaaaappp….. Letnan Satu Robin Mifune menang dalam perjudian
tersebut. Ketika berhadapan tadi, ia meluncurkan sebuah misil jarak dekat P-14,
atau di kalangan pilot biasa disebut sebagai P-14 “Boiled-Cheese”, namun tanpa
menunggu lawannya terkunci dahulu. Jika pesawat tidak terkunci oleh pesawat
musuhnya, sistem peringatan tidak akan aktif, sehingga musuhnya tidak tahu bahwa
ada misil menuju ke arahnya, dan misil buatan pabrik Arwen Arsenals itu pun
melakukan tugasnya dengan baik.
Hanya
pilot amatiran yang masih tertipu cara ini, Robin berjudi dengan berasumsi bahwa pilot V-26 itu masih amatir, karena
fakta bahwa pilot amatir sekalipun bisa menerbangkan V-26. Keunggulan malah
menjadi kelemahan….
Robin
baru saja akan kembali menuju markasnya, ketika tiba-tiba titik-titik merah
bermunculan di radarnya…
Kini
beberapa V-26 menuju ke arahnya. Salah satu rencana Vertopia dalam tahap awal
invasi ke Moyoland ialah “Operation Flood
Money”, yaitu serangan besar-besaran dari udara. Ada lima, tidak, enam
pesawat musuh yang membidik Robin sekaligus. Bunyi peringatan bahwa pesawat
musuh sudah menguncinya, terdengar dalam irama yang sama dengan detak jantung
Robin. Kali ini tidak mungkin menghindar….
Sebuah
roket meluncur kencang ke arahnya. Tidak ada waktu melakukan counter-manouver,
tangan Robin sudah bersiap di tuas pelontar kursi. Di dekat tuas itu ada
coret-coretan isengnya, bertuliskan “Dalam
keadaan darurat di-gangbang musuh, tarik tuas”. Tapi melihat jarak misil
yang sudah sangat dekat itu, sepertinya tidak akan sempat…
Robin
menutup matanya sambil menunggu ledakan…
Dan
semuanya tiba-tiba menjadi hening…
Tidak
ada ledakan, malah tidak ada suara apa-apa sama sekali, tidak ada suara
peringatan serangan musuh, tidak ada bunyi mesin pesawat, semuanya hening.
Robin membuka matanya kembali…
Pesawatnya
tidak bergerak di udara, demikian juga pesawat-pesawat musuh. Misil tersebut
juga hanya berdiam saja tergantung di udara, tidak jauh dari jendela pesawat
MOJ-32C tersebut.
Robin
melihat jam tangan Breitlingnya, jarum detik tidak berjalan.
“Selamat pagi, Mr. Mifune…”
Suara
wanita terdengar dari kursi belakang pesawat. Robin sontak kaget. Dan
setahunya, bukankah MOJ-32 ini merupakan pesawat tempur awak tunggal?
Seharusnya tidak ada “kursi belakang”…
Ia
tidak tahu mana yang lebih membingungkan, keadaan dimana waktu seolah terhenti
di luar, atau tiba-tiba pesawat ini mempunyai kursi belakang, atau bagaimana
cewek tak dikenal ini bisa tiba-tiba berada di dalam kokpit bersamanya, atau
siapa yang bakal menang bola nanti malam. WTF, pikirannya sudah terlalu kacau.
“Siapa? Apa? Bagaimana? Ebuset,
apa-apaan ene?”, Robin punya banyak
pertanyaan, namun bahkan bingung apa yang mesti ia tanyakan duluan.
“Panggil gue Lucy, lengkapnya Lucille
Ferrigno…. Nah, ada versi panjang lebar mengenai siapa kami dan kenapa kami
disini dan bla bla bla…. Atau langsung ke intinya, kau akan mati di pesawat
ini. Pilih alam baka, atau terlahir kembali menjadi pasukan abadi di bawah
pimpinan kami, bagaimana Mr. Mifune?”,
tanya cewek misterius yang ternyata bernama Lucy tersebut.
“Okey, berhubung kayaknya ente bisa
menghentikan waktu, gue pilih versi panjang lebarnya”, balas Robin sambil berusaha tetap tenang, walaupun
otaknya masih berusaha mencerna semua ini.
“Kami adalah, sebut saja kaum pengendali
perang. Kami menentukan negara mana yang saling berperang, sebesar apa
perangnya, seberapa lama, dan juga siapa yang akan menang. Dalam beberapa
kesempatan yang jarang, jika kondisi perang tidak sesuai dengan rencana yang
dibuat boss kami, maka ada perlunya kami melakukan intervensi. Contohnya
seperti sekarang ini…”
Robin
sulit melihat ke belakang untuk melihat seperti apa rupa Lucy ini. Dari
suaranya, sepertinya ia mengambil wujud wanita berusia 25-30an.
“Tunggu sebentar, jadi orang-orang elu
yang membuat kita diserang?”
“Salah, Letnan. Mifune, Kami
mengendalikan perang, tapi tidak menyebabkannya. Trigger-nya tetap dari kalian
sendiri, manusia. Kami hanya mengaturnya agar masih sesuai rencana tertulis.
Contohnya krisis misil Kuba atau perang dunia dua, jika kami tidak mengintervensi,
dampaknya bisa lebih parah…”
Robin
mencoba untuk berpikir. Kelompok setengah dewa yang mengatur jalannya
peperangan? Robin memang suka membaca komik atau film-film fantasi, tapi tidak
pernah mengira yang seperti ini bakalan nyata.
Lucille
melanjutkan bicaranya, “Kembali ke
tawaran, Mr. Mifune. Untuk mengendalikan perang ini, dan juga perang-perang
selanjutnya, kami akan menjadikan anda salah satu dari kami. Kekuatan yang
tidak pernah anda bayangkan. Anda suka membaca komik atau main video game, Mr.
Mifune?”
“Panggil saja Robin, dan ya.”
“Kekuatan karakter-karakter di komik
atau game itu bisa anda dapatkan. Menghancurkan gedung dengan energi dari
tangan, berpindah ratusan meter dalam kedipan mata, mengendalikan kilat dan
angin topan dan bahkan meteor, menghentikan waktu, immortalitas, semua yang
bisa anda bayangkan, Mr. Mifune, maaf, Robin…”
“Tapi…”, Robin memotong.
“Tapi?”, untuk pertama kalinya, Lucy terdengar bingung.
“Selalu ada tapinya. Tulisan kecil di bagian
syarat dan ketentuan. Tapi gue musti begini dan begitu, tapi gue musti
meninggalkan kehidupan lama, tapi gue musti membunuh siapapun yang kalian
suruh, tapi gue musti menjual jiwa gue, tapi gue musti punya kartu kredit
ZeusBank, tapi gue musti belanja minimal sekian Mojos, tapi gue musti bla bla
bla…”
Lucy
melakukan gerakan yang sepertinya mengambil sesuatu dari kantungnya.
“Hallo bos…”, rupanya sebuah telepon genggam. Bagaimana bisa dapet sinyal di ketinggian segini? Ah, tidak ada lagi
yang masuk akal, pikir Robin
“Ia menanyakan konsekuensinya, perlu
saya beritahu? Hei bos, halo? Halo? Ah sompret, pulsanya habis. Boleh pinjam
hapemu?”
Pilot
sebenarnya tidak boleh bawa telepon genggam ke pesawat, tapi Robin memang
bandel. Ia menyerahkannya pada si cewek di belakang.
“Hmm, Candybar, masih ada juga yang
pakai seperti ini jaman sekarang”,
Lucy menekan beberapa angka. “Yes bos, ini
Lucy, tadi lupa isi pulsa. Konsekuensi, bagaimana?”
Robin
tidak bisa mendengar lawan bicara Lucy, tapi sepertinya mereka berdua masih
menggunakan bahasa manusia. Setelah beberapa menit, akhirnya percakapan itu
selesai.
“Baik, Letnan Mifune, ah, maksudku
Robin, coba terbangkan pesawat ini ke arah yang aku berikan.”
Dan tiba-tiba mesin pesawat Thunderstruck itu menyala kembali. Tapi tidak dengan pesawat-pesawat lain, semua masih terkunci dalam waktu. Robin menyetirnya menuju titik yang diberikan Lucy di radar, rupanya di luar kota North Gungenport, lalu Lucy menyuruhnya berputar dan kembali menghadap kota.
“Nah, asumsi kau membawa bom nuklir,
coba tembakkan itu menuju kota. Tenang saja Robin, ini cuma simulasi, tidak ada
orang beneran yang akan mati.” Lucy
menyuruh Robin menekan tombol untuk meluncurkan roket.
Robin
menekan pelatuknya, sebuah roket terbang menuju pusat kota.
Beberapa
detik kemudian, ledakan besar terjadi. Sangat silau sehingga memaksa Robin
menutup matanya.
“Jika kau tidak menerima tawaran kami, hal ini bisa saja terjadi pada kotamu. Orang-orang seperti kami juga ada di pihak musuh kami. Jadi nantinya kau akan berhadapan dengan lawan-lawan yang sama kuat atau jauh lebih kuat.”
Lucy
masih melanjutkan penjelasannya. “Dengan
bergabungnya kau menjadi pasukan kami, kau akan berada sepenuhnya di bawah
pimpinan kami. Kau akan bernapas hanya jika kami menyuruh kau untuk bernapas.
Dan begitu kau bergabung, tidak ada jalan kembali.”
Lucy
terus menjelaskan detilnya kepada Robin, dan Robin mendengarkan dengan seksama.
Ketika semuanya selesai, Robin hanya terdiam dan berpikir, sambil memainkan
tangannya di tuas kendali pesawat. Lucy menunggu jawaban Robin dengan sabar.
“Tidak.” Akhirnya Robin berbicara.
“Kau yakin?” Lucy penasaran kenapa Robin menolak. Meskipun Lucy
adalah sebuah makhluk dengan kekuatan super, tetap saja ia tidak bisa membaca
pikiran manusia.
“Aku adalah Letnan Satu Angkatan Udara
Moyoland, divisi 28 Utara, lulusan terbaik dari sekolah perwira St. Ismo, dan
beginilah perang yang aku mengerti, manusia melawan manusia, bukan antara
Superman melawan Galactus. Kau silakan saja mengintervensi perang kami, tapi
aku tidak akan menjadi bagian dari itu….” Robin berkata dengan penuh percaya diri.
Robin
belum percaya sepenuhnya terhadap kelompok yang dikatakan Lucy ini. Ia
menganggap bahwa masih banyak yang Lucy belum ceritakan.
“Katakanlah aku bergabung, maka simulasi
ledakan nuklir tadi bisa saja malah terjadi pada Vertopia bukan? Aku memang
nasionalis, tapi bukan begini caranya kami berperang. Silakan cari orang lain…”
Robin
menyadari bahwa dengan menolak Lucy, ia akan mati terkena misil V-26 tadi. Tapi
ia tetap teguh pada jawabannya.
Lucy
menghembuskan napas panjang. “Okey Mr.
Mifune, maksudku Robin. Paling tidak, kami sudah berusaha…”
Dan
seketika, Lucille Ferrigno menghilang, waktu kembali berjalan. Pesawat MOJ-32C
Robin kembali di tempat semula. Misil dari V-26 itu kembali bergerak. Robin
menutup matanya, kali ini akan benar-benar meledak….
====================
Sean
Cromwell melihat pesawat Thunderstruck itu meledak di udara…
Ketika
sadar bahwa ia telat ke kantor, Sean tadinya mengharapkan hari ini diliburkan
saja. Ternyata memang kita harus berhati-hati dengan apa yang kita harapkan.
Pesawat
MOJ-32C itu terjatuh dengan kobaran api besar di badannya.
Menuju
Sean yang masih berada di mobilnya….
Enggak sempat kabur lagi, pikir Sean. Dan iapun menutup matanya menunggu
jatuhnya pesawat tempur itu.
Sebuah
suara tiba-tiba terdengar dari kursi belakang.
“Selamat pagi, Mr. Cromwell…”